Namanya Itra. Baru lulus ujian kompetensi dokter Indonesia setelah lima tahun menempa ilmu di sebuah fakultas kedokteran ternama di ibukota. Itra anak milenial: muda, idealis, walau kadang galau. Itra punya filsafah hidup, jadi mahasiswa kedokteran bukan kutu buku dan jagoan lulus modul. Bagi Itra, masa muda adalah masanya mahasiswa, maka masa mahasiswa adalah masa muda yang perlu dinikmati. Moto itulah yang membawanya berkelana bukan hanya dari satu ruang kuliah ke ruang kuliah lain, dari satu bangsal ke bangsal lain. Sejak awal menjadi mahasiswa, Itra telah mengunjungi belahan nusantara dan dunia, baik karena menjadi wakil universitas di konferensi-konferensi akademik, maupun kegiatan yang ada hubungannya dengan kecanduannya akan laut dan jalan-jalan.
Namanya Itra,S.ked dan hari ini hari angkat sumpah dokternya. Muka Itra cerah sumringah. Bersama ratusan rekan sejawatnya hari ini ia melafalkan sumpah hipocrates, mengatamkan gelar dokter di depan namanya. Itra pun bercanda gurau dengan temannya: ini gelar pertama kita, nanti setelah beberapa tahun panjang nama kita akan bertambah dengan gelar Sp(spesialis) A dan B , bahkan mungkin dengan gelar (K)-konsultan di belakangnya. Lebih panjang lagi mungkin diembeli F-C dan D(Fellow) di akhir nama. Ya, Itra dan kebanyakan temannya tahu, sekolah menjadi dokter tidak berhenti hari itu. Menjadi seorang spesialis adalah semacam takdir prestasi yang berikutnya harus dicari. Belajar menjadi dokter, adalah pembelajaran sepanjang hayat.
Namanya dr.Itra. Sejak dua bulan yang lalu dr.Itra ditempatkan di rumah sakit umum daerah sebuah kecamatan di sebuah provinsi tak jauh dari ibukota. Menunaikan kewajiban internship di tempat ini adalah pilihan yang menjembatani keinginan ibunya yang takut anaknya mengalami nasib serupa dokter-dokter internship naas yang jadi pemberitaan di koran-koran. Alasan ibunya membuat dr.Itra kadang berpikir untuk mengatakan ini pada ibunya :
Ibu, tahukah bahwa di provinsi tempat ibu pikir aku tak akan bernasib naas, ada ratusan ibu-ibu yang setiap tahunnya meninggal karena hamil dan bersalin. Ibu-ibu naas yang tinggal hanya dua jam dari ibukota, yang fasilitas kesehatannya ibu pikir sempurna, yang standar hidupnya ibu pikir lebih baik tapi sama besar resiko naasnya dengan mereka yang tinggal di daerah terdepan dan terluar di Indonesia ?
Namanya dr. Itra, dokter internship di penghujung masa tugasnya. Kemarin pagi, seorang anak berambut merah, berperut buncit dan lemas, datang diantar ibunya yang bergelang kalung emas.
Anak saya susah makan, begitu kata ibunya. Susah dok, maunya jajan dan makan mie instan, kalau sudah jajan ngga mau makan yang lain dok.
Dr.Itra berusaha menjelaskan kenapa anak ini kurang gizi dan sekarang dalam kondisi harus dirawat. Si ibu mendengar sambil matanya menerawang dan berkata,
apa tidak bisa dikasih vitamin saja, dok ?
Ibu punya jamkesda kan ?
Iya dok, tapi apakah separah itu anak saya harus dirawat, dia sehat kok, cuma tidak mau makan.
Dr. Itra menjelaskan sekali lagi, si ibu cuma menunduk, tampak tidak yakin.
Malam kemarin di ruang gawat darurat datang seorang guru diantar suaminya yang perokok berat, nafasnya satu-satu. Kanker payudara yang menyebar ke paru-paru. Ketika disarankan pembedahan oleh dokter dua tahun lalu, suami dan keluarga menolak karena percaya pengobatan alternatif dengan jaket sakti seorang ahli teknik dari luar negeri tampak lebih tidak mengerikan dan menjamin kesembuhan, sedangkan dari sang dokter mereka hanya menerima janji upaya maksimal dari sang dokter. Ibu itu meninggal malam itu. Dr.Itra hanya tertegun menatap catatan medis sang ibu, seandainya dahulu pembedahan dilakukan, ibu itu tak datang ke rumah sakitnya malam itu.
Namanya dr.Itra dan malam ini ia terpekur. Sebuah pertanyaan mengantung di kepalanya, mengapa sebagai dokter, takdirnya adalah menyembuhkan orang yang sudah sakit? Apakah tidak seharusnya, seorang dokter bukan menjadi sang penyembuh tapi sang penjaga kesehatan? Di sekolah kedokteran memang ada ia diajarkan bagaimana ia mencegah orang sehat menjadi sakit atau orang sakit menjadi makin sakit, tapi rasanya ilmu itu dulu kalah seru dibandingkan ilmu mengubah yang sakit menjadi sehat. Malam itu dr.Itra mempunyai moto baru: menjadi dokter adalah menjadi pahlawan penjaga kesehatan, bukan semata pahlawan yang berusaha sebaik mungkin memenangkan perang dengan kesakitan.
Namanya dr.Itra, dokter Puskesmas di sebuah daerah terluar dan terpencil di Indonesia. Lima tahun lalu ia datang untuk memulai masa pengabdiannya sebagai dokter PTT. Empat tahun delapan bulan yang lalu ia jatuh cinta pada alam dan budaya daerah tugasnya. Empat tahun delapan bulan yang lalu ia menyadari inilah lahan tempat ia mewujudkan cita-citanya menjadi pahlawan penjaga kesehatan. Lima tahun sudah, ia bersitegang dengan kepala dinas kesehatan yang sibuk dengan rencana-rencana menyenangkan atasan dan lupa dengan tugas sebagai sang penyembuh dan penjaga kesehatan. Lima tahun sudah dr.Itra berjuang membuat puskesmasnya lebih baik, posyandu dan posbindunya berkegiatan lebih banyak, kader-kader kesehatannya terlibat aktif, dan tetangga-tetangganya (ya, tetangga-tetangganya, bukan pasien-pasiennya) hidup lebih sehat. Dr.Itra beruntung, kepala desa dan kepala adat daerahnya mendukung cita-citanya menjadi sang penjaga kesehatan. Berkat dr.Itra, kepala desa berani menggelontorkan dana desanya berfokus pada kesehatan. Fasilitas penunjang kesehatan pun dibangun, kadang dengan dana desa, kadang dibantu swadaya masyarakat. Desa itu mencintai dr.Itra dan dr.Itra mencintai desa itu.
Namanya dr.Itra, dokter Puskesmas teladan se-Indonesia. Desanya mengarak pesta untuknya. Bangga dokternya yang baik dan pintar berkesempatan bercakap langsung dengan bapak presiden walau hanya via satelit. Bapak bupati menyalaminya, Bapak gubernur berbisik padanya,
Dok, mau sekolah spesialis? Kalau dokter mau, kami bisa sekolahkan dokter, setelah itu dokter bisa pindah ke ibukota propinsi. Saya sedang membangun rumah sakit baru dan butuh dokter-dokter seperti anda.
Dr.Itra tertegun, ingat kelakarnya dulu dengan teman-teman untuk mencantumkan sederet gelar spesialisasi (sebelum gelar almarhum) di belakang namanya; ingat bapak ibunya yang kerap kali menyampaikan pertanyaan kerabatnya, Itra spesialis apa ? Di bawah naungan gugus bintang timur malam itu gelora pikirannya bertentang. Haruskah kesempatan ini kulewat saja? Haruskah aku kembali ke tempat aku nantinya lebih banyak menjadi sang penyembuh daripada sang penjaga kesehatan ? Aku ingin sekolah, belajar haruslah sepanjang hayat. Aku tahu sebagai penjaga kesehatan kadang aku berharap ada guruku yang datang membantuku mengerti bagaimana penyakit bisa dicegah dengan senjata selain kata-kata penyuluh. Kadang aku berharap aku tahu banyak lebih dari sekedar merujuk yang sakit dan bagaimana menerima si sakit yang kembali dan mencegah ia dan keluarganya menjadi pesakitan abadi. Kadang aku berharap aku pernah belajar benar cara mendiagnosa komunitasku, bukan dengan cara coba sana sini. Kadang aku berharap aku tidak perlu banyak sakit hati karena puskesmasku dianggap tidak mampu mandiri karena di atas kertas aku hanya punya satu gelar di depan namaku, dan tidak ada gelar di belakangnya. Kadang aku berharap aku sang penjaga kesehatan dihargai dan dibantu dengan pengakuan dari mereka yang duduk di menara gading akademis, bukan hanya dengan piagam dan tanda semat. Kadang aku berharap aku tak seorang diri, aku berharap kerjaku menjadi penyembuh dikerjakan bersama tim terlatih yang hebat, yang isinya selain dokter seperti diriku, juga ada tenaga kesehatan lain. Yang terberat, haruskah kutinggalkan desa ini dan mereka yang sudah kuanggap saudara? Tak bisakah aku sekolah, belajar lebih banyak untuk kembali bekerja di tempatku sekarang ?
Namanya dr.Itra, dan seperti dokter pada umumnya, ia masih ingin sekolah. Dari kawannya, ia mendengar ada spesialisasi baru terbuka, spesialis layanan primer. Spesialis yang memungkinkannya menjadi sang penjaga kesehatan, spesialis yang memungkinkannya sekolah lagi, mendapat gelar, dan ia bisa kembali ke desa tercintanya. Itra pun mencari informasi dan mendaftar. Biaya pendidikannya pun didukung pemerintah pusat sehingga Itra mengatakan pada bapak Gubernur,
Pak, biaya spesialisasi saya bisa digunakan untuk dokter lain yang membutuhkan, atau mungkin nanti bisa untuk biaya membangun sarana komunikasi yang baik ke desa saya, sehingga kita bisa membuat tele-health seperti yang pernah disinggung bapak presiden tempo lalu.
Namanya dr.Itra, dan hari ini ia membaca koran. Keberadaan spesialisasi yang diminatinya dipertanyakan rekan-rekan dokter lain. Banyak dari mereka yang berwacana adalah para pahlawan penyembuh si sakit. Kening Itra berkerut karena informasi yang diteruskan mereka bukanlah informasi sama yang ia dapatkan. Katanya spesialisasi layanan primer wajib, padahal tidak.Katanya spesialisasi ini membuang uang dana pemerintah, tapi dengan segala fasilitas dan sumber daya fisik yang dibangun pemerintah untuk desanya sekarang, apakah salah meminta sumber daya manusianya diperbaiki bersamaan? Dr.Itra tak kunjung mengerti wacana bagaimana dokter seperti dirinya jika lulus akan menyingkirkan dokter umum atau profesi kesehatan masyarakat, pekerjaan begitu banyak, tak akan habis dibagi. Ia hanya menatap ember timba di belakang rumah dinasnya dan bertanya apakah dirinya hanya bisa menimba air, tapi tak bisa menimba ilmu?
Namanya dr.Itra, pagi ini ia berangkat menuju posyandu di lereng bukit sebelah. Hari ini ia menunggu kapan cita-citanya menjadi penjaga kesehatan, dan bukan menjadi sang penyembuh semata, terwujud. Entah berapa musim tanam lagi, entah berapa kali lagi angin bertiup….