Kambing, Pindang dan Kunci.

Standard

Pagi ini dengan semangat 45, dengan membawa semua kerjaan yang ada, kugapai kunci mobil di gantungan, kurogoh kantung……….. lo, kunci pagarnya mana? Hah? Aduh Ilang, aduh ketinggalan di Solo, aduh, aduk sana, aduk sini……….. Oh gaswat Nga Ketemu ! Untung Intan masih di rumah, Ok, kunci, berarti bisa keluar rumah, tapi………. Oh No, kunci Garasi tidak ada, cilaka, No car for today, okay, calm down….. dan Yes, inilah aku, setelah sekian lama, sejak aku bersama Leeuw…akhirnya menggunakan lagi yang namanya Sarana Transport Public Kelas Ekonomi, disingkat STPKE atau lebih enak disingkat menjadi K3(Kendaraan Kelas Kambing).

 

 

 

Bongkar sana, bongkar sini, berusaha membawa dan mengurangi beban tas. Walau begitu tetap saja aku terpaksa harus membawa punggung kura2ku yang besar itu (maksudnya tas ransel). Ok, biar tampang jadi mirip kakek Dragon Ball, tapi kerja harus semangat !

 

 

 

Berhubung karena dikejar waktu yang tidak punya kaki itu, aku memulai petualangan hari ini dengan naik K3 yang paling mahal, alias Taksi Tarif Lama (alasan sebenarnya : aku masih enggan naik K3, nga nyaman sih, sombong, sombong).

 

 

 

Sampailah aku di Cipto ½ jam kemudian, ketemu Epi, ketemu Tukang Fotocopy, Ketemu Pak Bekti, Ketemu Mbak Ani di Kantin, ketemu Dokter Investigator, ketemu nama Mark di Query setumpuk, ketemu data-data yang tidak konsisten,ketemu sebel karena semua harus diangkut dan dikirim ke Singapore hari ini, ketemu tukang print yang memanggilku ”Mas”, ketemu tukang soto yang sotonya kumakan dan kemudian aku kolik habis-habisan, ketemu Wisnu lagi pegang HP di jalan, sampai akhirnya ketemu….. waktunya pulang ke KANTOR yang sudah seminggu aku tinggalkan, rasanya sudah kangen berat melihat Tower C (heeem, alasan bombastis, alasan sebenarnya : takut diomelin Katherine kalau sampai tidak jadi handover proyek hari ini).

 

 

 

Ok, bagaikan orang pelit dari kampung baru datang ke Jakarta, inilah percakapanku dengan Epi saat memulai proses naik K3 :

 

G : Kita naik kereta api aja ya, taksi mahal sampai ke kantor

 

E : Ya sudz, mbak.

 

G : Naik dari Manggarai apa Cikini?

 

E : Terserah, Cikini aja jalan kaki.

 

G : Nga ah, gembolan besar begini, naek Bajaj aja

 

E : Ya sudz

 

G : Naik Bajaj bayarnya berapa?

 

E : 7000 aja?

 

G : Nga kemurahan? (sombong, sok kaya)

 

E: Biasa segitu, entar kita naek aja nga usah tawar2an.

 

 

 

Sampai Manggarai, beli karcis di loket, pakai uang 20.000 (Epi udah protes, nanti dimarahi katanya). Tidak pi, tidak dimarahi, Cuma sambil melotot si bapaknya bertanya, tadi uangnya berapa?!?

 

 

 

Jalan ke peron, paling ujung, paling terbuka, paling banyak sinar matahari. Panas, panas, terbakar. Sengaja memanggil tukang minuman, biar dia berdiri di depan menghalangi matahari. Eh, tukang minuman itu ternyata tidak lulus ujian naik bombomcar, alias tinggi hanya semampai. Jadi upaya mengurangi panas gagal. Upaya manipulasi Epi untuk berdiri di depanku……….gagal. Coba tadi bawa payung, pikirku. Memalukan kata Epi, masa pake payung dibawah peron, hari panas lagi nga hujan. Kenapa mesti malu, daripada gosong ! Tidak memalukan ah !

 

Selagi bedebat datanglah tukang payung, ” Ayu mbak, payung,payung, buat panas nih…” K3, apapun jadi, kenyamanan tidak termasuk harga tiket, harus usaha sendiri.

 

 

 

Setelah 2 kali menunggu, jam sudah 3.30, handphone sudah berulangkali bergetar, takut diangkat karena di peron K3 banyak orang susah yang suka menyusahkan orang susah lain yang sombong suka memamerkan barang mewahnya. Kereta berikutnya, naik… Heem, tadi kita beli tiket Kereta apa Oven ya? Tidak beda. Lihat lagi kaca depan, KRL jurusan….Bogor… bukan jurusan neraka……..Hemph. Ya, pasrah, sambil merasionalisasi bahwa ternyata proses dijemur tadi termasuk dalam proses awal pembuatan ikan pindang, ikan mesti dijemur dulu………berkeringat, jadi asin…..

 

 

 

Di dalam, mepet, mepet,mepet,mepet, sampai akhirnya kami semua siap menjadi ikan pindang, baik secara posisi maupun secara bau. Begitu mantap posisi pindang ini sampai bergerak pun tidak, padahal kereta berjalan. Berhenti di tebet, ikan-ikan makin banyak yang masuk, dan pindang pun mulai bermodifikasi menjadi pindang ketek. Kalau di jalan protokol macet ada istilah Bumper to Bumper, maka, Ketek to Ketek adalah istilah untuk K3.

 

 

 

Proses pemindangan mengalami proses yang namanya Pemanasan Puncak ketika memasuki Stasiun Pasar Minggu, mungkin biar kami semua matangnya rata, kereta pindang berhenti selama hampir 10 menit(setidaknya menurutku selama itulah aku harus beradu hidung ketek dengan anak2 ABG di sebelah). Oksigen habis, upil bertambah.

 

 

 

Kereta berjalan lagi, stasiun berikutnya kami turun. Perjuangan 2 pindang berlanjut. Bagaimana caranya menuju pintu keluar? Okay, kaki kiri maju, gembolan maju dan ”permisi, permisi bu mau turun, permisi, permisi” Setelah diberenguti pindang-pindang yang lain, akhirnya sampailah aku di pintu keluar. Stasiun berikut dengan mengandeng tangan Epi (mesra amat ya), loncatlah dua ekor ikan pindang basah dari dalam kereta.

 

 

Next K3, mikrolet atau ojek? Ok, mikrolet.

 

G : ” Berapa si bayar mikrolet? ” (Maklum, kalau ini bukan sombong, tapi memang sudah lama tidak mengikuti perkembangan harga mikrolet)

 

E : Seribu

 

G: Hah, kasian amat 1500 aja d

 

E : Kemahalan orang deket kok

 

G : Ya udah biar gue, nah lu buat apa ngeluarin duit 1000?

 

E : Buat bayar, seorang 1000 lagi mbak, bukan 1000 berdua….

 

G: Ups.

 

 

 

Akhirnya setelah berganti mikrolet, sampailah ikan sarden pindang lecek di kantornya. Sempet ragu takut ditahan satpam. Sampai lantai 11.

 

 

 

” Ya ampun, kenapa lu….. lagian naik kereta, naik taksi kenapa….. kucel amat, ke kamar mandi sana, …. ampun baju basah…. ganti nanti masuk angin….. busyet deh baunya…..dasar orang-orang pelit……lu anak preman ya……..Busyet tu rambut…..”

 

 

 

Ok, ikan pindang membaui kantor. Jam 4.30, Colok Laptop, eh………. Katherine berniat membatalkan acara handover, untung bisa dipaksa sedikit mencicil proses, kalau tidak udah cape2 dibela-belain jadi ikan pindang, ternyata nga ada hasil. Jangan sampai aku gagal jadi ikan pindang yang berguna bagi nusa dan bangsa.

 

 

 

Selesai, pulang, lagi2 dengan K3 favorit……. mikrolet. Berhubung sudah lama…. (alasan yang selalu diulang-ulang dalam cerita ini)… naek mikrolet harus sampai 2 kali, padahal sekali sudah cukup……..karena harus nyebrang jalan ……takut.

 

 

 

Sampai di rumah dengan selamat, ikan pindang mandi dan berubah menjadi ikan mas. Ikan mas beristirahat…. membongkar tas dan….. eng ing eng………. Kunci Garasi !

 

 

 

Well………………….

 

6 thoughts on “Kambing, Pindang dan Kunci.

  1. pembaca sekalian….
    tepuk tangan yg meriah utk kembalinya sang legenda …..
    THE 1001 Kibul …,
    Rupanya ‘si K….’ yg udah terkubur berpuluh2 thn sejak jaman Serviam baru ‘bangkit’ lagi setlh di fermentasi jadi ikan pindang….
    Not bad lah itu ikan pindang …

    Like

Leave a comment